Bayangkan saja jika saat kau harus tidur nyenyak, justru tulisan @Override, public class, return queryForObject, dan sejumlah query SQL-lah yang menghantui malammu. Apa menurut kalian kehidupan seperti itu sehat?
Jelas tidak, tapi jika perusahaan itu sudah memegang tanda tanganmu diatas materai dan dengan ijazahmu yang tersimpan rapi di rak penyimpanan mereka, mau tidak mau kamu harus menuruti isi surat perjanjian kerjamu bukan?
Ya setidaknya itulah yang aku lakukan selama satu tahun diperusahaan itu. Bekerja sebagai developer Java, mungkin kalian akan lebih mengenalku dengan sebutan programmer. Untuk tulisan Java, itu tidak salah ketik kok. Java itu salah satu bahasa pemrogramman dan salah satu yang paling sulit dibandingkan bahasa lain seperti .Net atau Visual Basic. Menurutku.
“Gia?”
“Pak Guruh, apa kabar pak?” Aku mengulurkan tanganku pada pria yang berusia awal lima puluh itu.
Aku sudah ada di salah satu gazebo di kantor ini. Kantor ini memiliki empat gazebo yang dimanfaatkan sebagai ruang meeting atau ruang menjamu tamu. Hampir semua atasan di kantor ini tidak memiliki ruangan pribadi, hal ini disengaja agar tidak tercipta gap antara atasan dan bawahan.
Aku selalu merasa nyaman dengan suasana desa yang ditonjolkan oleh interior kantor ini. Di sini tidak ada kubikel, yang ada hanya deretan komputer diatas meja tanpa kaki yang tertempel di dinding. Di tengah ruangan dibangun dinding pembatas sepinggang untuk memisahkan proyek A dengan proyek B. Deru komputer dan server berhasil mengalahakan bunyi air mancur yang ada di beberapa sudut ruangan.
Hanya orang-orang HRD lah menempati ruangan tertutup, karena mereka tidak memerlukan logika rumit untuk memilih pegawai yang berkualitas. Tidak seperti para developer yang harus memeras otak untuk menghasilkan aplikasi yang sesuai dengan kemauan user yang tidak pernah puas. Ya seperti aku dulu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Developer adalah masa laluku dan aku tidak pernah berkeinginan untuk kembali ke masa itu. Never.
“Sehat, Gi. Kamu sendiri? Saya dengar kamu kemarin kuliah di Singapore ya? Ngambil apa? Kerja di mana sekarang?” Pria itu menyambut uluran tangganku sambil terus bertanya.
“NTU, ngambil Information System, Pak.” Akupun lalu menyebutkan nama bank tempat aku bekerja sekarang.
“Oh, jadi kamu yang akan jadi BA untuk project kerja sama ini?”
Ya, aku datang ke tempat kerjaku ini bukan untuk bernostalgia, tapi karena bank tempat aku kerja membutuhkan jasa konsultan IT ini.
“Begitulah, Pak. Oya, bagaimana kabar proyek kita kemarin, Pak?”
“Ah.. gara-gara kamu keluar, proyek itu jadi terbengkalai. Raffael aja sampai sakit karna mikirin kamu yang resign, jadi dia gak punya penyemangat lagi. Haha.”
“Ah, Bapak bisa aja. Pak Raffael kecapekan kali, Pak. Bukan karna saya lah, lagian masih banyak developer lain kemarin. Haha..”
Dasar atasan tukang gosip, seenaknya saja menyalahkanku atas kegagalan proyeknya. Lagian apa juga hubungannya Raffael denganku, jelas-jelas aku ini adalah bawahan yang paling dibencinya. Aku yakin sekali dia pasti sangat bahagia saat mengetahui rencana resign-ku, jadi dia tidak perlu menghadapi bawahan yang keras kepala sepertiku.
Sewaktu bekerja dulu, aku selalu menjadi bulan-bulanan Raffael. Dia selalu memarahiku karena perkerjaan yang kulakukan tidak pernah sesuai dengan keinginnanya.
“Tapi dengan tampilan ini lebih bagus, Pak.” Aku pernah berkeras dengan design halaman login web yang akan kami bangun.
“Apa kamu kira semua user itu pengguna facebook yang tahu bahwa tombol login itu ada di pojok kanan atas?”
Pertengkaran ini masih level kecil, untuk level menengah biasanya kami meributkan masalah logika matematika yang digunakan untuk membangun aplikasi yang ditujukan untuk transaksi perbankkan. Level paling tinggi dan paling sering terjadi adalah keterlambatanku.
“Saya kan pulangnya jam sembilan malam, Pak. Wajar saja kalau saya masuk jam sebelas seperti sekarang, lagian saya juga akan pulang malam juga.”
“Saya bahkan pulang jam dua belas malam, Gianina. Dan pagi ini saya datang sebelum setengah sembilan, tidak terlambat semenitpun dari jam masuk kantor kita.”
“Kenapa hanya saya yang bapak tegur? Bagaimana dengan anggota tim yang lain?”
“Keterlambatan mereka masih bisa diterima, Gianina.” Saat itu aku hanya bisa mendengus kesal, untungnya dia menegurku di jam makan siang saat tidak ada orang di sekitar mejanya.
“Gianina?”
Pria itu memang selalu memanggil nama lengkapku, tidak seperti atasan yang lainnya yang memanggilku dengan Gia. Eh, sepertinya aku baru mendengar suara bariton pria itu, tapi sepertinya aku salah dengar.
“Raffael.” Aku mendengar mantan bosku itu menyebutkan nama pria itu dan mengikuti arah pandangnya.
Nafasku seketika itu juga terhenti, kini aku melihat pria setinggi 180 cm itu berdiri di dalam gazebo yang tingginya tidak jauh berbeda dengannya. Aku bisa melihat kepalanya yang nyaris menyentuh atap gazebo ini.
“Raffael, lihat kejutan apa yang kita dapat di sini?”
“Gianina tidak sedang melamar lagi di kantor ini kan, Pak?” Apa kupingku sedang bermasalah, sehingga aku seperti mendengar kemarahan di nada suara pria yang sekarang membiarkan 5 o'clock shadow-nya masih ada di jam kantor begini. Apa dia benar-benar tidak ingin melihatku dikantor ini lagi?
“Haha.. Itu memang harapan saya, Raf. Tapi sayangnya dia sudah memiliki pekerjaan yang lebih nyaman.”
Aku hanya tersenyum kearah Pak Guruh, sementara itu aku mendengar suara desahan lega dari Raffael. Aku memang benar, pria itu tidak pernah menyukai bekerja bersamaku, semoga saja proyek kali ini pria ini tidak akan ikut.
“Gia, untuk proyek kerjasama kali ini, saya menyerahkan semua tanggung jawab itu pada Raffael.” Pria yang mulai beruban itu lalu melirik kearah pria yang telah duduk di depanku. “Raffael, saya harap kamu bisa memperlakukan Gia lebih baik kali ini. Dia client kita.” Pak Guruh langsung keluar dari gazebo dan meninggalkan kami yang saling menatap.
Aku tidak tahu sudah berapa lama kami hanya saling pandang, tapi yang pasti saat OB mengantarkan minuman barulah kami mulai mencari-cari sesuatu dibalik berkas-berkas yang kami bawa.
“Berarti sekarang kamu sudah bukan programmer lagi?” Pria itu berdeham untuk membersihkan ternggorokannya.
“B-bukan, Pak.” Sial. Seharusnya aku tidak perlu segugup ini, dia nggak bakalan marah-marak ke aku lagi, sekarang ini aku client-nya. Dia bisa kehilangan kesempatan baik, kalau dia tidak memperlakukan aku dengan baik.
“Bagaimana kuliah kamu kemarin, cumlaude?” Pria itu sepertinya mulai bisa mengendalikan dirinya, dia menyandarkan punggungnya ke kursinya seperti seorang bos dan aku terlihat seperti seperti pelamar kerja.
“Sayangnya tidak, Pak.”
Aku hanya tersenyum simpul padanya, aku sedang tidak ingin membicarakan urusan pribadi dengan pria ini. Aku mulai mengajukan pertanyaan seputar proyek yang akan kami kerjakan. Walaupun sedikit kecewa karna harus bekerjasama dengan pria ini, tapi sejujurnya aku sedikit merindukan masa lalu kami. Sedikit rindu dengan rindu itu berbeda kan?
“Sejujurnya, saya belum paham sepenuhnya dengan proses bisnis perusahaan kamu, tapi saya sangat berharap kamu mau meluangkan waktu lebih untuk menjelaskan secara detail pada saya.”
“Baiklah saya akan mengirimkan detailnya ke email Anda, Pak.”
“Tidak.. tidak.. Saya sedikit kesulitan untuk memahami proses bisnis secara tulisan, saya lebih cepat mengerti bila dijelaskan secara lisan. Tapi penjelasan kamu tadi masih belum bisa membuat saya paham sepenuhnya. Oh ya, tolong jangan panggil saya Pak, Raffael saja. Toh, sekarang kamu bukan bawahan saya lagi kan?”
Aku hanya mengangguk, bukan karna setuju, hanya saja aku tidak berani terlalu lama melihat senyum di wajah pria itu. Raffael jarang sekali tersenyum padaku dulu, dia lebih sering marah bila berada diradius sedekat ini denganku. Padahal aku sering mencuri pandang saat pria itu tersenyum pada atasan kami atau rekan kerjanya yang lain. Pria ini memiliki senyuman yang bisa membuat banyak hati wanita meleleh. Dengan deretan giginya yang putih dan matanya yang semakin menyipit bila dia sedang tersenyum.
“Kalau begitu, apa kau punya waktu besok siang untuk menjelaskannya pada saya?”
“Em.. Besok saya ada meeting sampai jam dua belas, Pak.. Eh maksud saya Raffael.”
“Rafe saja, jika kamu tidak keberatan.”
“Ya, Rafe.” Rafe terdengar aneh tapi sekaligus lucu di telingaku. “Tapi sehabis makan siang saya harus kembali meeting.”
“Bagaimana kalau sewaktu makan siang? Kebetulan kantor kita tidak terlalu jauh, saya bisa menjemput kamu dan kita makan siang diluar, bagaimana?”
Aku punya firasat, pria ini sedang ingin mengajakku keluar untuk alasan pribadi bukan untuk urusan kantor. Dari pengalamanku bekerja dengannya, dia selalu bisa memahami proses bisnis secara tulisan, dia tidak pernah meminta client untuk mejelaskan ulang tentang proses bisnis.
“Em, tapi saya bisa meluangkan waktu sekitar jam tiga sore. Saya rasa lebih baik kita membicarakannya di ruangan saya ataupun di sini, bagaimana?” Aku bisa melihat raut kecewa diwajah Rafe dan itu mengejutkanku.
“Baiklah besok sore saya akan datang ke kantor kamu.”
Hari ini banyak kejutan yang aku terima dari pria kasar ini, termasuk paksaannya untuk mengantarku ke loby dan bukan hanya itu, dia bahkan membukakan pintu mobil untukku.
“Hati-hati bawa mobilnya, Pak.” Dia juga berani memerintah supirku seperti seorang suami. Suami. Ya Tuhan, tidak pernah terbayangkan aku akan memiliki suami seperti dia. Suami yang galak, yang akan mengomentari semua kesalahanmu, tidak pernah memujimu, dan yang selalu membuatmu kesal.
Tapi harus aku akui, hari ini dia tidak mengesalkan. Dia bertingkah cukup manis hari ini. Ah, Raffael, mantan bosku tersayang. Apa kau pernah tahu selama dua tahun di Singapore aku selalu merindukanmu?
Sial. Aku tidak boleh memikirkan pria kasar itu. Tidak, dia hanya mantan bosku. Hanya itu.