Aku masih ingat hari itu, hari kami dipertemukan. Aku dan Vika, kami tergabung dalam sebuah komunitas sosial yang tersebar di Indonesia. Suatu waktu, kira-kira tiga tahun yang lalu, komunitas kami mengadakan acara keakraban dengan mengundang seluruh anggotanya. Tapi sangat disayangkan jumlahnya tidak sebanyak yang diinginkan. Awalnya panitia mengharapkan setidaknya 100 orang yang ikut, tapi ternyata hanya ada 50 orang, termasuk panitia. Walapun begitu suasana akrab di acara itu tidak berkurang.
Acara diawali dengan acara saling kenal, masing-masing anggota berdiri dan memperkenalkan diri mereka. Saat itu aku terlambat, karna perut ini tidak bisa diajak bersahabat, akhirnya aku bergabung dengan rombongan setelah setengah dari anggota sudah memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan nama saya Adri Ignatius, usia tujuh belas.."
"Tujuh satu!" teman sebelahku berteriak dan diikuti riuh sorakan dari yang lainnya. Jelas saja, usiaku bukan tujuh belas ataupun tujuh saat itu, tapi dua puluh tiga. Setelah tawa reda aku pun melanjutkan perkenalanku.
"lahir di Balikpapan, besar di Padang, kuliah di Bandung, kerjanya nomaden."
"Seru dong kalau nomaden, jadi sering jalan-jalan. Mau dong diajakin.." Seorang wanita yang berjarak lima orang dariku angkat bicara. Dari parasnya bisa kukira usianya awal dua puluh, tapi yang pasti masih lebih muda dari aku.
“Boleh.. tinggal kasih no HP nya ke saya aja, saya asprinya beliau."
"Ahh.. enakan kasih ke orangnya langsung, takutnya nomor aku nyangkut di asprinya." Suara tawa kami menandingin suara air terjun dan membuat beberapa kepala pengunjung lainnya menoleh ke gerombolan kami.
"Aspri apaan ya?" sebuah suara tiba-tiba muncul setelah tawa kami mereda. Aku menoleh pemilik suara itu. Kalau aku lagi pengang kamera, pasti aku bakalan foto itu wajah itu. Tolol. Itulah kesan pertamaku tentang wajahnya. Sementara anggota lainya tertawa, aku malah dengan tololnya mandangin wajahnya selama kurang lebih tiga menit.
"Aspri itu maksudnya Asisten pribadi." Akhirnya aku menjawab pertanyaan gadis itu, walaupun sepertinya teman sebelahnya sudah membisikkan jawabannya dari tadi. Gadis itu tesenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, bisa kulihat semburat rona merah di pipinya, mengingat jarakku dengan dia hanya satu meter dihadapanku.
Setelah aku, acara perkenalan dilanjutkan oleh Tio dan beberapa orang lainnya sebelum gadis tadi berkenalan.
"Nama saya Ananda Vika, biasanya dipanggil Vika, masih kuliah di Bandung, asalnya dari Medan."
Gadis itu mengakhiri perkenalannya dengan tersenyum, lalu tiba-tiba ada yang bertanya.
"Udah punya pacar belum?" langsung aku tutup rapat kedua bibirku begitu aku sadar dari mulutkulah keluar pertanyaan itu.
Tio langsung bersiul begitu mendengar pertanyaanku, sedangkan yang lain asik ber-'cie-cie' ria dan gadis itu hanya tersenyum.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
"Hei, pertanyaanku tadi belum di jawab lohh.." Aku menghampiri Vika yang sedang duduk sendirian di salah satu batu dekat air terjun. Sepertinya di terkejut mendengar suaraku, wajahnya sempat nge-blank beberapa detik."Ohh.. yang itu. Emang penting ya?"
"Emm.. " jujur aku kanget dengan jawaban itu, apalagi melihat tampang kesalnya. Sepertinya aku tadi sudah merusak lamunannya.
"Buat aku sih penting." Aku melemparkan senyum terbaikku.
"Ooh. Belum." Jawabannya kemudian membuang wajahnya ke arah air terjun dan memulai aksi merenungnya lagi.
"Kamu punya obeng, nggak?" Dia diam lagi, sepertinya sih dia tidak mendengar ucapanku. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dari air terjun itu dengan menyentuh bahunya.
"Gak punya kak.." Ucapnya dengan kesal tanpa sekalipun menoleh kearahku.
"Tapi nomor HP punya kan?" Balasku lagi, dan berhasil. Dia menoleh kepadaku dan aku tersenyum kearahnya.
“Sini ponsel kamu..” Aku mengambil ponselku dan meletakkannya di atas tangannya yang sedang terbuka.
Dia menekan-nekan tombol ponselku lalu menaruhnya di telinganya sebentar kemudian menekan tombol terakhir dan mengembalikan ponselku ke aku. Tampa mengucap apa-apa, dia kembali menikmati air terjun itu. Baru kali ini aku dicuekin begini, biasanya aku yang cuekin orang.
“Papa kamu astronot ya?” Dia menggelengkan kepalanya.
“Jangan bohong deh, aku yakin papa kamu astronot.” Dia tetap diam.
“Ngomong-ngomong punggung kamu kenapa?” Dia menoleh ke arahku.
“Emangnya kenapa?”
“Kok bidari kayak kamu, sayapnya dipotong?” Lalu dia tertawa, aku senang akhirnya bisa bikin dia tertawa.
~~~~~~~~~~~~~~
Acara ditutup dengan bernyanyi bersama, kami menyanyikan lagu.Aku berdiri disamping Vika, aku menggenggam tangannya dan membisikkan lirik lagu yang kami nyanyikan.
Dan genggam tanganku erat
Ku yakin kita bisa
Melewati hari ini dengan senyuman
Dan jangan pernah kau lupakan
Hidup hanya sebuah rencana
Yang tak akan pernah bisa terulang
Tak lupa aku pun mengatakan, “I’ll call you latter”
wkwkwkwk
ReplyDeletethe number you're calling is not public area, please try again in few years
hihi cie ciee juga ah, ciee ciee. :))
ReplyDeleteevent blogger: review tempat makan favorit, berhadiah Galaxy pocket sama voucher2 lho!