Pages

May 15, 2012

[Cerpen] Kisses don't lie



Kisses don't No they don't Never don't lie You can run if you want but you cant hide Telling you its the truth don't you ask why~ Rihanna - Kisses don't lie ~

Rasanya seperti coklat, begitu lidahku menyentuhnya aku akan memejamkan mataku untuk menikmatinya, setiap rasa manis yang meleleh di lidahku. Aku biarkan rasa manis itu berlama-lama ada di mulutku. Hingga saat dia menarik bibirnya, aku ingin bibir itu kembali lagi. Memberikanku rasa manis itu. Memberikanku kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan.

Mata nya menatapku, mencoba mencari sesuatu. Tidak. Aku tidak akan pernah memberikan jawaban itu. Biarlah hanya aku dan hati ini yang tahu faktanya.
"Say it.." 
"No!" aku mencoba berteriak, padahal suaraku mungkin terdengar seperti desahan. 
 "Liar!" 
Dia memberikan coklat lagi, tapi kali ini rasanya bercampur keju. Rasanya lebih nikmat, apalagi kini tangannya tidak hanya diam. Dia mulai menyentuhku. Di tempat favoritku, dimana aku selalu merasa dimanja dengan jari-jari panjang itu.
Kini tubuhku, bersandar sepenuhnya di dingding dingin apartemennya. Tapi dinginnya dinding itu tidak bisa meredakan panas yang kini mulai menjalar di tubuhku. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Besok adalah hari pernikahanku. Aku tidak boleh ada di sini lebih lama lagi.
"Stop!" Aku berteriak, dan kali ini sungguh-sungguh berteriak. Aku mendorongnya sejauh mungkin dari tubuhku, walaupun jauhnya hanya sepanjang tanganku. Aku mencoba mengatuh nafasku yang sudah seperti orang yang habis lari.
"I must go! Urusan kita dah selesai Dion.. " Aku melangkah menjauhinya menuju pintu apartemen itu. Aku memaksa otakku untuk fokus ke pintu, sementara hatiku masih ingin menuju kasur lembut pria itu. 
Baru melangkah beberapa langkah, tanganku ditariknya dan dilemparkannya tubuhku ke atas kasur. Dalam hati aku merasa nyaman, tapi sekali lagi kesadaran bahwa besok aku akan jadi istri orang lain harus tetap aku pertahankan.

"Urusan kita belum selesai Dri!  Sampe lo bilang iya, baru urusan kita selesai."  

"Sampe kapan pun jawaban gue tetep NGGAK! Gue nggak bisa ninggalin dia!" Aku mencoba untuk mengangkat tubuhku dari kasur itu, tapi aku tidak berhasil dia kembali mendorongku. Dan kini tubuhnya ada di atasku.

"Gue udah ngomong ama Viko dan dia setuju."

 "Apa lo bilang??" Aku tidak percaya dengan pendengaranku kali ini. Bagaimana caranya dia bisa ngomong ke Viko, tega sekali dia bertemu dengan Viko dan ngomong tentang hubungan kami.

"Gue bilang ke Viko, kalo kita berdua punya hubungan, dan bayi yang di perut lo itu adalah buktinya." dia menunjuk ke perutku, bagaimana dia tahu tentang bayi ini? Tidak ada yang tahu tentang bayi ini. Cuma aku dan Viko yang tahu tentang masalah ini.

"Ini baby-nya Viko. Lagian nggak mungkin one night stand kita bisa ngasilin anak!" Jantungku rasanya seperti hilang tiba-tiba. Dia mendekatkan wajahnya, dia merangkah di atas tubuhku, dan matanya menatapku lekat-lekat.

"Viko itu sakit, dia udah di vonis nggak akan punya keturunan. Dan ini.." Dia nenunjuk perutku. " Sampe kapan pun, gue nggak akan pernah rela dia manggil Viko atau cowok lain dengan sebutan 'PAPA', cuma gue yang berhak untuk itu." Dasar tolol, semua orang juga tau kalo Viko nggak bisa punya anak. Kenapa aku harus bohong kayak tadi.

"Tapi lo jangan lupa! Gue mama nya, gue yang akan mengandung dan melahirkan dia. Jadi gue lebih berhak nentuin, siapa yang akan dia panggil 'PAPA'. Udah deh, lo urus diri lo sendiri, nggak usah urusin gue dan baby ini."

"Sampe mati pun, lo dan bayi ini juga bayi-bayi kita yang lain bakalan gue urus!" Hahh? Coba aja aku belum tunangan ama Viko, aku rasa itu adalah kalimat lamaran yang manis. 


"Tapi Viko butuh gue!"

 "Kita akan rawat Viko sama-sama, Besok bukan lo dan Viko yang merit, tapi kita!""Nggak! Dari awal gue dah bilang ke lo, gue gak mau nikah sama lo. "

 "Tapi lo cinta kan sama gue?"

 "Nggak!"

 "Your kiss say it yes, Dri!" Sial, kenapa harus pake ciuman sih dia nanyanya? Harusnya cukup kata-kata, aku jagonya ngebohong lewat kata. 

"Say yes, Dri" dia menarik bibirnya lagi, memaksa aku untuk menjawab. Nggak, aku nggak mau bilang iya sampe dia bilang cinta duluan.

"No!" Aku mencoba menenangkan diriku.Untungnya dia nggak cium aku lagi. "Kenapa?" Suaranya terdengar seperti putus asa, tapi aku rasa aku salah denger "Kenapa lo gak mau nikah sama gue? Apa emang lo cinta beneran sama Viko?"

"Viko cinta sama gue, dan umurnya Viko udah gak lama lagi. Dia lebih butuh gue dan bayi ini." Aku sadar seharusnya aku nggak pernah hianati Viko. Pria itu sudah jadi kekasihku selama lima tahun, dan selama itu hubungan kami selalu baik. Sampai pria ini tiba-tiba datang dan Viko yang dinyatakan menderita kanker. Air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku memang mencintai Dion, hanya dalam satu malam, dia bisa membuatku melupakan cintaku sama Viko. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin Viko.

"Tapi gue juga cinta sama lo. Kenapa cuma Viko yang lo pikirin? Kenapa lo nggak pernah mikirin gue dan bayi ini." Dia menjatuhkan keningnya di atas keningku. Matanya terpejam.

"Gue mikirin bayi ini.. Tunggu lo tadi ngomong apa?" Aku masih belum percaya dengan pendengaranku. Tiba-tiba hatiku rasanya seperti taman kering yang diguyur hujan. Namun dia hanya diam dan menggangkat tubuhnya dan kini duduk di tepi tempat tidur. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Lo barusan ngomong apa?" Akupun mengikuti geraknya, duduk disebelahnya. "Lo tadi bilang kalo lo cin.."

"Ya... I love you Andriana" Dia mengangkat kepalanya dan memandang kearahku. Aku menutup mulutku. Aku masih shock.

"You and our baby. I love you both. Waktu gue tahu lo hamil, gu bahagia luar biasa, Dri. Gue langsung mesan tiket buat balik ke Jakarta, buat ngelamar lo dan nikah sama lo. Tapi waktu gue nyampe disini, gue nerima undangan pernikahan lo sama Viko. Apa lo tau perasaan gue? Gue hancur, Dri."

Air mataku mengalir semakin deras. He loves me. "Tapi lo ngak pernah bilang apa-apa."

"Lo terlalu sibuk dengan cintanya Viko. Lo nggak pernah melirik ke gue sekalipun. Itu lah alasan gue rela buat nemanin lo mabuk-mabukan malam itu." Malam itu waktu Viko minta putus, waktu dia tahu tentang kondisinya, dia nggak mau aku terluka karna dia sakit. Tapi helloo... waktu pria yang lo cintai sakit, apa lo bisa seneng karena dia mutusin lo??

"Walaupun gue sadar, saat pagi datang, gue harus kembali ke Bali, gue harus ngelupain lo dan kejadian di malam itu. Dan gue nggak bisa." Mata itu sungguh-sungguh terlihat sedih dan putus asa sekarang.

"Sejak kapan?" 

"Sejak lo numpahin fanta lo di baju gue di bandara, sejak pertama kali gue liat mata lo." Hari itu Viko lagi ada meeting di Bandung, jadi dia minta tolong aku buat jemput sepupunya (Dion), yang datang dari Bali. 

"Tapi gue cinta sama cowok berkacamata yang sering berantakin rak bukuku.." Setiap sabtu dia sering main ke apartementku, awalnya dia datang sama Viko, tapi lama-kelamaan dia selalu datang kapan saja dia butuh bacaan dan dia akan ambil geledah isi rak bukuku, setelah pulang dia akan tinggalin semuanya masih dalam keadaan berantakan. Kini mata itu tidak terlihat sendu lagi. 

"Siapa?" Kini mata itu memancarkan tanda tanya besar, walau dalam hati aku ingin tertawa. 

"Waktu gue di Bali, ada yang pernah main ke apartemen lo selain Viko?" aku menganggukkan kepalaku.

"Nanda." Aku menyebutkan nama sahabatku. "Arrgghh,,, Maksud gue, cowok? Siapa cowok yang lo maksud" Aku hanya mengangkat bahuku. Tapi akhirnya aku pun tertawa. Lepas. Sudah dua minggu ini aku nggak bisa ketawa, apa lagi selepas ini.

Tiba-tiba tawaku harus berhenti, lagi dan lagi di memberikanku rasa coklat itu. Kalau dari tadi aku coba untuk tidak membalas, tapi ngak berhasil. Kali ini aku memang sengaja membalasnya. Memberikannya rasa manis dariku, memberikannya jawaban atas pertanyaannya. Bukan hanya bibirku yang bermain dalam permainan terakhir ini, jari-jariku pun ikut menyentuhnya. Menyentuh dadanya dan memeluk lehernya. Kali ini aku tidak membiarkan satu centi pun jarah memisahkan kami.

"Jadi siapa prianya?" tanya Dion setelah berhasil melepaskan ciumanku.   

"You told me that my kiss already said yes. " Aku menciumnya lagi. Lebih panas dan lebih menuntut. Aku mencintainya.

"Wait!" dia menjauhkan wajahnya dariku."Tell me.. " Aku tahu dia ingin agar aku mengatakannya dengan kata. Tapi aku lebih senang mempermainkan dia.

"What??"

"Tell me that you love me and you want to be my wife TOMORROW. " dia menekankan kata-kata tomorrow dan itu membuatku  tersenyum.

"Asal lo bisa ngatur pernikahan besok itu nggak terlihat memalukan karna pengantin prianya berubah. Ya gue mau jadi istri lo."

"..." dia tetap diam sambil menunggu.

"Okeh.. berarti urusan kita dah selesai kan? Gue pulang ya..." saat aku hendak mengangkat patatku dari kasur, dia menarikku lagi.

"Just it?" aku melemparkan tatapan penuh tanda tanya padanya. Padahal dalam hati aku tahu apa yang diinginkan pria ini.

"Lo cuma ngomong itu? Iya gue mau jadi istri lo asal bla-bla-bla..?? Nggak ada yang lain?"

"Lah lo nanya ke gue apa gue mau jadi istri lo kan?"

"Argghh.. Andriana.. Gue bukan cuma nanya itu ke lo. Gue minta lo ngomong kalo lo itu cinta ma gue." Aku paling suka kalau liat tampangnya udah begini. Frustasi. Dia akan mengacak-acak rambut hitam gelombangnya itu.

Aku tersenyum kepadanya. "Aku mencintai ayah bayiku. Aku cinta sama Dion." Kemudian pria itu memelukku. Aku harus berterima kasih pada Viko, bukan cuma karena waktu yang sudah kami habiskan selama ini, tapi karna cinta tulusnya untukku. Aku menyanyangi Viko.

Dan kini, aku mendapatkan keyakinan itu. Keyakinan bahwa pria yang kupilih ini adalah pria yang tepat untukku.


Written by @yuuCaaaa

4 comments:

  1. Aahhh Yuyuuuuu KEERREEENNN PAARRAAHHH!!!!!
    Hahaha, agak dewasa sih,, gambarnya (yg paling atas) jg hot gtu (untung ak udh 17th, wkwkwk :p)

    ReplyDelete
  2. haha.. makasi ras..

    keknya ni blog bakalan di jagain hanya untuk usia 17 tahun ke samping deh..

    hihihi

    ReplyDelete
  3. so romantic ^^ aku udah 17+ kaka jadi boleh baca gak *sok polos* haha

    wah yu, berbakat nulis cerita nihh ayo siapa tw bisa jadi novelis hihihi

    ReplyDelete
  4. yuuuu,,yang rajin doonk nulis *maksaA

    ReplyDelete