"Caramel Macchiato hangat satu ya..."
Sambil menunggu antrian pesanan yang panjang, aku menyebarkan pandanganku mencari bangku kosong untukku. Semua bangku di toko kopi terkenal ini hampir penuh, ada beberapa yang kosong tapi aku tidak yakin apakah aku bisa mendapatkannya atau tidak. Baru saja ada beberapa kumpulan remaja yang melewatiku dan menyebar mencari tempat duduk, di depanku juga ada tiga orang yang sepertinya senasib denganku. Sendirian dan sedang menunnggu hujan reda.
Aku melihat jam tanganku, sudah jam sepuluh malam dan diluar sana hujan masih deras. Antrian taxi sudah aku pastikan sangat panjang, daripada aku menunggu sambil berdiri lebih baik aku minum segelas kopi untuk meredakan kekesalan hari ini. Bagaimana tidak kesal coba? Jam tujuh malam aku sudah bersiap untuk pulang, komputer sudah aku matikan dan tas kerja sudah aku gantungkan dibahuku ketika bos muncul dan...
"Lita, tolong laporan yang untuk senin diselesaikan hari ini, kirimkan ke saya kalau sudah selesai!" Bayangkan saja, sekarang hari Jumat dan pekerjaan untuk minggu depan harus diselesaikan hari ini? Mana laporan itu sama sekali belum aku sentuh!
Aku mematikan kembali komputerku di jam setengah sepuluh malam. Aku meninggalkan bosku yang masih sibuk dengan semua email-email ataupun pekerjaannya yang lain. Itulah nasib orang yang bergaji besar, tanggung jawab juga makin banyak.
Jam sepuluh malam dan di sinilah aku berakhir, mengantri di kedai kopi terkenal. Di luar sedang hujan deras, dan antrian taxi juga sangat panjang. Daripada menunggu sambil kedinginan lebih baik menunggu ebrsama kopi kopi hangat. Lagian, besok tidak ada janji yang akan dikejar, hanya ada kasur dan yang akan menemahi hari Sabtu malasku.
"Kak Lalita, Caramel Macchiato." Aku mengambil minumanku dan melangkah lebih cepat ke kursi itu. Satu kursi kosong yang ada di depan jendela besar dengan meja panjang yang sudah hampir penuh dengan individu yang sedang menanti. Menanti redanya hujan, ataupun menikmati bahagia bersama aroma kopi. Untungnya aku lebih cepat dari wanita di depanku tadi, sehingga aku sekarang bisa melihat jendela yang dibasahi tetesan hujan dan juga lampu-lampu kemacetan Jakarta.
Aku menggenggam minumanku dan membiarkan hangatnya mengalir dari telapak tanganku hingga ke dalam hatiku. Setidaknya hangat itu dapat menukar rasa kesal dihatiku. Aku menikmati wangi kopi dan manisnya macchiato, aku memejamkan mataku agar kenikmatan itu dapat mengalir jantungku, kepalaku, dan seluruh sel-sel ditubuhku.
Di luar masih hujan deras dengan kemacetan Jakarta yang gak ada ampunnya. Aku melirik jam lagi, baru sepuluh menit aku menunggu tapi rasanya seperti sudah dua jam. Aku membuka ponselku dan membuka social mediaku satu-persatu. Di path pada ramai posting mie rebus yang terlihat lezat, di facebook penuh dengan sharing tentang agama dan politik, instagram penuh dengan postingan orang jualan. Bosan!
Aku kembali minum kopiku yang sudah hampir dingin dan isinya tinggal setengah tapi hujan masih terlihat deras. Aku menopang daguku dengan tangan kanan sambil bersenandung mengikuti lagu yang sedang diputar di kedai kopi ini.
"Permisi, saya boleh duduk di sini, ya... " Seorang pria membawa kursi dari meja lain dan memaksakan dirinya duduk di antara aku dan pria lain yang tadi di sampingku. Jelas saja aku langsung mengerutkan keningku. Jelas-jelas tempat aku duduk sudah terlalu sempit untuk ditambah dengan satu orang asing lagi, tapi dia tetap saja kekeuh untuk duduk di situ.
"Maaf, kursi yang kosong tinggal ini dan di meja itu," dia menunjukkan meja yang sudah penuh dengan gadis-gadis remaja yang sedang cekikikan. Akupun langsung melihat pria di sampingku itu, mengenakan kemeja, kacamata, dan membawa ipad. Akhirnya tanpa bisa menahan diri, aku pun tertawa. Melupakan kesal yang tadi aku rasakan dan berganti dengan perasaan lucu karena membayangkan pria necis duduk bersama anak-anak alay!
"Well, yah... Jadi aku..." Dia mengangkat bahu dan kedua tangannya, seakan menyerah dengan penilaian apapun dariku.
"It's okay. Kamu bisa duduk di situ." Kataku sambil menahan tawa. "Anyway, Lalita." Kataku sambil mengulurkan tangan padanya, yang untuk sesaat aku menyesalinya.
Aku bukan tipe wanita yang mengambil langkah pertama, tapi karena kebosanan dan kopi yang hampir habis, aku perlu sesuatu untuk disctraction.
Aku bukan tipe wanita yang mengambil langkah pertama, tapi karena kebosanan dan kopi yang hampir habis, aku perlu sesuatu untuk disctraction.
"Abi. Abimanyu" Dia langsung meraih tanganku dan tersenyum. "Jadi aku panggil kamu, Lali or?"
Tawaku pun pecah lagi, "Ojo lali toh, Mas... Lita wae."
"Oh, iya..... Masa' sing ayu gini dipanggil Lali." Kami berduapun tertawa. Setidaknya ada hal baik yang terjadi di Jumat malam ini, ada orang baru dan ada tawa yang kami bagi.
"Sendirian, Lit?" Aku menatap matanya sejenak, dia punya bola mata berwarna gelap dan dengan bulu mata yang tebal dan rapih. Bulu mata impianku, karena dia tidak perlu pensil alis ataupun sulam alis lagi.
"Gak, kok... Rame gini kok sendirian?" Aku tau aku jadi sedikit jayus, tapi dia tetap tertawa.
Abi memiliki seyum semanis macchiato yang sedang aku minum, ditambah dengan lesung pipi yang menjadi pelengkap seperti cinnamon di kopiku. Kacamata Abi tidak bisa menembunyikan sinar matanya yang jenaka dan terkadang menggoda. Aku tahu kami sedang menggoda satu sama lain, tapi karena toh aku tidak mengenalnya dan mungkin saja ini pertemuan pertama dan terakhir kami. Jadi tidak ada salahnya bukan? Daripada kami hanya saling berdiam diri?
"So where have you been, Lit?"
"Sorry?" Aku kembali mengerutkan dahiku. Sejak tadi aku disini bersama dia, jangan-jangan Abi ada kelainan. Semacam short term memory lost? Tapi cara Abi menatapku, memberiku perasaan seperti telah minum kopi tiga gelas.
"Aku sudah mencari wanita sepertimu sejak lama." Abi mengangkat tangannya dan hendak menyentuh rambutku.
"Eits...." Aku langsung menahan tangan Abi. "No.. No.. No.. Don't touch me, Mr. Stranger."
"Hahaha... Lita, Lita, Lita. Setelah ngombrol 30 menit dan kamu sebut aku Mr. Stranger?"
"Abi.. Abi.. Abi... Baru ngobrol 30 menit dan kamu udah berani menyentuh aku?"
Abi tersenyum dan dengan tangan kanan di atas meja, dia menopang dagunya dan mentapku. Aku pun melakukan hal yang sama dengan lengan kiriku. Dia tersenyum, akupun tersenyum. Dia bilang aku menarik, aku bilang kue coklatnya menarik. Diapun membagi kue coklat itu denganku. Dia tanya seberapa sering aku minum kopi, aku jawab sejujurnya. Kamipun saling bercerita bagaimana pertama kali kami menyukai kopi. Dia yang bahkan sewaktu kecil suka makan bubuk kopi, sementara aku sangat benci kopi.
"Astaga, udah jam 12 lewat, Lit!!"
"Hah?? Serius?" Aku pun melihat jam tanganku, sulit memang meminta waktu berhenti di saat-saat penuh sukacita seperti ini. Abi menawarkan jasanya untuk mengantarkanku pulang, tapi tentu saja aku tolak. Aku tidak mau merepotkan orang, tapi pulang jam segini naik taxi dengan beredarnya kasus kejahatan taxi...
"Yakin mau naik taxi sendiri? Nanti kamu diapa-apain, loh." Aku bergumam sendiri sambil melirik Abi dengan tatapan curiga.
"Iya juga, sih. Tapi bisa aja kan nanti kamu yang apa-apain aku, secara kamuuu...." Mataku semakin menyipit, melemparkan tatapan curiga padanya.
"Ya, elah... Aku pasti tanggung jawab kok." Aku tertawa menanggapi candaan Abi, walau hati menahan debaran yang semakin aneh.
Aku akhirnya pulang bersama Abi, sepanjang jalan Abi memasang siaran radio yang sedang memutar lagu-lagu lama yang terkenal. Sesekali kami bernyanyi mengikuti liriknya dan menceritakan tentang kapan lagu itu pertama kali kami dengar. Kami tertawa ketika lagu itu ternyata pernah kami pakai untuk menggoda/digoda mantan-mantan kami. Abi ternyata berusia dua tahun lebih tua dari aku, jadi kisah jaman sekolah kami hampir-hampir mirip. Masa dimana mengirim lagu lewat radio untuk gebetan, mengirim surat cinta yang diselipkan di buku catatan, masa dimana Steve Job belum terkenal.
"Nah, disini aku tinggal." Kataku ketika kami sampai di depan gerbang kosanku yang sudah gelap. Aku membuka sabuk pengaman dan bersiap untuk keluar dari mobil, ketika Abi memanggil namaku.
"Lita,"
"Ya.. " Aku menoleh ke arah Abi dan aku mendapati wajahnya tepat di depanku. Aku dapat merasakan nafas Abi di wajahku.
"May I?" Abi memohon dengan suara serak. Seluruh tubuhku ingin meneriakkan YA, tapi otakku malah menggerakan tanganku untuk membuka pintu.
"Terimakasi atas tumpangannya, Bi." Kataku sebelum aku menutup pintu mobil kembali.
"Lita,"
"Yes..."
"Next time, ijinkan aku menggenggam tanganmu?" Abi masih tetap menggodaku, dia memasang wajah memelas yang bikin gemes.
"Kalau kita ketemu lagi, aku akan traktir kamu minum kopi."
"Okai, aku pegang ucapanmu."
Abi sudah pergi, tapi aku masih terdiam di depan kosanku. Menatap sinar lampu dari mobil Abi yang perlahan menghilang. Akankah kami bertemu lagi?
*****
Setiap senin selalu ada morning meeting di divisiku. Aku memang bukan orang penting di divisi ini, jadi aku datang atau tidak, bukanlah masalah besar. Sayangnya, hari ini meeting bersama jajaran direktur dan aku terlambat. Untungnya aku masuk ke ruang meeting saat temanku sedang presentasi, dimata semua mata sedang fokus padanya dan aku berhasil terkesan invisible.
"Kok baru datang, kau?" Tante Batak langsung menghujaniku dengan pertanyaan begitu aku duduk disebelahnya.
"Biasa, Tan... Diposesivin kasur" Tante dan aku tertawa dengan suara sekecil mungkin, tapi tetep saja ada yang melirik ke arah kami. Kami duduk di meja bundar dengan jumlah peserta kurang lebih lima belas sampai dua puluh orang. Aku belum memperhatikan siapa saja yang ada di ruang meeting itu, tapi setidaknya ada beberpa wajah yang aku kenal.
"Heh, cok kau tengok dulu mamak kau itu." Tante menyenggol lenganku sambil menyibirkan bibirnya ke arah bosku yang memang terkenal sebagai wanita penggoda pria-pria yang lebih muda dari dia.
"Dari tadi senyum-senyum terus, rambutnya lah terus dipegang-pegang.. Eee.. yang dia kiranya bakalan dilirik sama si Abimanyu itu?" Cerocosan tante hanya aku tanggapi dengan senyum. Tunggu! Tadi kupingku tidak salah dengar kan?
"Sama siapa, Tan?"
"Itu tuh, si Abimanyu... Anaknya Pak CEO kita."
Aku melihat arah yang ditunjukkan Tante. Disitulah dia, Abi yang sama, mata yang sama, dan dia juga sedang melihatku. Rasanya seperti habis disiram air es seluruh tubuhku dan dadaku pun terasa sakit. Aku, yang ada di rantai paling bawah hirarki perusahaan, Jumat lalu telah menggoda anak yang punya perusahaan. Bila kantor ini punya paparazi, bisa dipastikan kabar itu segera menyebar dan setelah itu aku akan mengundurkan diri. Abi masih melihat ke arahku, aku bisa lihat bibirnya yang sedang menahan tawa.
Beberapa memory seperti menyerangku. Abimanyu. Tara Abimanyu. Bagaimana mungkin aku bisa lupa nama nama itu? Abi memang bilang dia bekerja di gedung yang sama denganku, tapi kemarin itu aku memang sedang dalam mood tidak mau peduli dan ikut campur urusan pribadi orang. Argghhhhh, Lita tolool!!!
"Lit, kok daritadi si Abimanyu nengok-nengok ke kau dari tadi? Yang naksinya dia samamu?"
"Ah, gak kok, Tan.... Siapalah aku ini, dilirik sama dia." Aku mencoba menenangkan diri dan bersikap cuek sama tatapan Abi.
Meeting berlangsung selama dua jam. Bosku dan Abi beberapa kali bertanya dan juga memberikan masukan. Walaupun begitu, beberapa kali aku mendapati Abi sedang menatapku, dan terkadang dia malah sengaja menatapku terlalu lama sampai-sampai aku harus menunduk. Begitu meeting selesai, aku bergegas keluar dengan alasan mau ke toilet. Berharap aku bisa melarikan diri dari gua singa.
"Selamat pagi dengan Lalita. Ada yang bisa saya bantu?" Aku menjawab telepon dimejaku yang sudah bernyanyi bahkan sebelum aku duduk di kursi.
"Well, saya mau capucinno dan saya suka minum kopi ditemani sepotong cake, plussss.... Plus ditemani kamu!"
Aku terdiam beberapa saat, aku kira aku baru keluar dari gua singa, eh ternyata singanya tiba-tiba nelepon.
"Lita..."
"Gosh! Kenapa kamu gak bilang kalau kamu itu....." Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan perasaanku saat ini, antara takut, kecewa, atau apa? Tapi yang diujung telepon malah tertawa.
"Kamu pasti terkejut tadi ya?"
"Sangat!! Kamu kenapa gak bilang, kalau kamu itu......!?"
"Sayang, kalau kamu tahu aku Tara Abimanyu, kamu tidak akan berani menggodaku." Aku yakin pria itu pasti sedang terseyum diujung sana, sementara pensil kayu yang di tanganku hampir patah.
"Jadi kapan aku bisa menagih janjimu?"
◄ End ►
Jakarta, 5 Desember 2015
♥ yuyu ♥
Jakarta, 5 Desember 2015
♥ yuyu ♥
No comments:
Post a Comment