Pages

Sep 10, 2012

Manado, I'm in Love

Sabtuku kemarin menyenangkan. Aku bahagia. Bahagia. Dan Bahagia. Rasanya melayang tapi tidak terbang, rasanya manis tapi tidak ada gula. Aku juga bingung mendefinisikan bahagia ini. Em.. aku umpamakan seperti dapat boneka teddy bear yang tingginya setengah badanku dan lebarnya dua kali tubuhku,  yang sudah kamu minta dari tiga tahun lalu.

Tapi kalau di pikir-pikir lagi, itu juga belum cukup menggambarkan kebahagiaanku. Intinya aku bahagia karena baru punya pacar baru. Hahahahaha.

Mau bilang aku norak? Silahkan...

Aku yakin begitu aku ganti status relationship di facebook, pasti bakalan jadi trending topik di twitter. Secara aku udah jomble sejak tiga tahun lalu dan yang paling parah adalah aku ditinggal nikah sama mantan aku. Parah.

Pagi ini aku disambut dengan bahagia lain. Melihat sosok pria yang belum mandi dan masih dengan mata setengah tertutup memang menghasilkan kebahagiaan tersendiri.

"Pagi sayang.." Raffael langsung menyapaku begitu aku membuka pintu apartementku. Wajahnya langsung mendekat ke wajahku yang langsung aku halangi dengan menutup mulutnya.

"Belom mandi, nggak boleh main sosor-sosor!" Aku menggoyangkan telunjukku di depan wajahnya. Wajah pria itu langsung berubah masam untuk sedetik kemudian senyum liciknya tersungging.

"Yang udah mandi, boleh kok sosor-sosor di sini." Dia menepuk-nepuk pipi sebelah kanannya. "Sekali aja, please.."

Aku tersenyum dan mendekatkan bibirku ke pipinya, tapi dengan secepat kilat Raffael memutar kepalanya dan bibirku kini mendarat tepat di atas bibirnya.

"Tetep maniskan, walau belum mandi?" Senyum Raffael ku balas dengan tawa manja. Aku bersyukur untuk pagi hari ini.

***
"Beneran gak boleh ikut, akunya?" Raffael memasang wajah memelas lagi kali ini, padahal dari kemarin aku sudah bilang tidak padanya. Hubungan kami baru satu hari, bagaimana mungkin aku mengajak pria ini ke rumah? Aku tidak ingin terkesan terlalu terburu-buru dengan hubungan ini.

"Rafe," Aku menyentuh wajah Raffael dengan kedua tanganku. "Aku hanya pergi satu minggu kok. Lagian kerjaan kamu kan lagi banyak, nanti Pak Guruh bakalan ngamuk kalau aku curi kamu dari dia."  Aku mencium kening pria itu lalu turun dari mobilnya.

Raffael membawa keluar barangku dan menaruhnya di atas trolley. Kami berjalan berdampingan menuju pintu masuk keberangkatan.

"Gianina, mau kah kau berjanji padaku?" Raffael memegang tanganku dan menghentikan langkah kami.

"Ya.."

"Kalau nanti di Manado kamu ditanya-tanya kapan mau nikah, bilang aja kamu udah punya calonnya dan kalau memang orang tua kamu maksa, kita bisa kok nikah tahun ini." Aku melihat keseriusan di mata pria itu, aku juga yakin kata-kata itu tidaklah mudah untuk diucapkan.

"Rafe..." Aku baru saja akan mengutarakan pendapatku, tapi Raffael langsung menghentikannya.

"Ssstt.. kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa sama aku, aku hanya ingin kamu berjanji. Kalau mereka tidak bertanya apa-apa, aku juga tidak akan melarang kamu untuk bilang sama mereka kalau kamu sudah punya aku. Itu hak kamu. Aku juga sadar, hubungan kita masih sangat singkat, kita masih perlu saling mengenal sebelum memutuskan untuk menikah. Tapi aku hanya tidak sanggup membayangkan kalau selama di sana kamu bakalan di jodoh-jodohkah."

Aku hanya terdiam mendengarkan Raffael, seperti perintahnya, aku hanya mengganguk dan berjanji padanya.

"Aku janji, Rafe" Sedikit berjinjit, aku mencium kening pria itu. "I will miss you."

"Me too." Raffael mengecup kedua pipiku dan kami berpisah di situ.

***
Aku tidak tahu apakah kontak batin itu benar-benar ada atau tidak, tapi permintaan Raffael benar-benar menggangguku. Kepulanganku kali ini memang diminta secara khusus oleh kedua orang tuaku, kabar yang aku dengar dari adikku, sahabat Papa ingin melamar aku untuk anaknya. Kata adikku, pria itu sangat sibuk mengurus perusahaan keluarga mereka dan kebetulan pria itu ada libur selama satu minggu dan orang tuanya ingin mendekatkan kami.


"Maaf, Mbak, sepertinya Anda duduk di kursi saya." Sebuah sentuhan di pundakku menyadarkanku dari lamunan, aku melihat pria itu.

"Maaf, mbak dudukknya di nomor berapa?" Seorang pramugari segera datang menengahi kami, padahal pertenggaran belum terjadi.

Aku mengambil tiketku dari saku celana dan membaca ulang. 17 E. Sial. Aku lupa minta kursi di dekat jendela.  "Maaf.. maaf.. Saya salah, harusnya saya di 17E." Aku pun meraih tasku dan hendak pindah ke tengah.

"Udah, Mbak di situ saja, saya saja yang duduk di tengah." Pria itu langsung duduk di sebelahku, sang pramugari pun melemparkan senyum manisnya dan meninggalkan kami.

"Makasih, Mas." Hanya kalimat itu yang bisa meluncur dari bibirku.

"Sama-sama." Pria itu memasang sabuk pengamannya. "Mau pulang kampung?"

"Iya, Mas juga asal dari Manado?" Aku sedikit ragu tentang asal pria ini. Dengan kulit coklat yang terpanggang matahari, aku rasa dia bukan dari Manado.

"Ah, bukan, walaupun saya ke sana karena urusan keluarga. Oya, Cello." Pria itu mengulurkan tanggannya.

"Gianina." Aku menerima uluran tangan itu. Walaupun sebentar, tapi sempat juga kecepatan jantungku naik. "Tangan Anda memang kasar tapi ujungnya tidak kapalan, pasti Anda bukan pemain Cello, kan?"

"Hahaha..  Analisis yang baik tapi selama kamu belum bisa nyimpulin kerjaan aku yang sebenarnya, aku anggap kamu bukan seorang detektif."

Aku langsung tergelak mendengar ucapan pria itu. Pria yang menyenangkan ku pikir. Pria itu memiliki dagu yang lancip dan hidung yang mancung, tulang pipi yang tegas. Rambutnya hitam, lebat, dan sedikit panjang, karena rambutnya menyentuh kerah bajunya.

"Tentu tidak, otak saya belum sanggup untuk menuduh seseorang. Haha."

"Ayahku pernah jatuh cinta dengan seorang pemain cello, tapi sayangnya wanita itu tidak mencintainya sama besar. Ibuku juga mengalami hal yang sama, dan selama aku dikandungan, aku akan sangat hiperaktif bila mendengar suara cello." Pria itu tertawa lemah sambil mengenang masa lalu. "Oya, kamu bukan pemain Cello, kan?"

"Hahaha.. Tentu bukan."

Aku senang berbicara dengan pria ini, kami berbicara sepanjang perjalanan kami. Dari situ aku tahu kalau dia bekerja di pertambangan, aku rasa itulah yang membuat kulitnya menggelap. Dia pria yang ambisius dan berkemauan keras, aku rasa apa yang dia mau pasti akan dia dapat. Walau begitu dia teman bicara yang asik.

***
"So.. See you next time." Kata pria itu ketika kami berpisah di ruang kedatangan. 

"Ya." Kataku sambil melirik ke arah antrian penumpang yang menunggu barang-barang bagasi mereka.

"Aku anggap kau memiliki perasaan yang sama denganku." Cello tersenyum nakal sambil membenarkan ransel yang dibawanya.

"Huh?" Aku tidak mengerti apa maksud kata-kata Cello, tapi mau minta penjelasan pun percuma. Langkah kakinya lebih cepat dua kali dari punyaku.

Begitu aku mendapatkan barang bawaanku, akupun langsung menghubungi Bapak Raffael tersayang. Satu kali panggilan, tidak diangkat. Kedua sama saja. Aku melihat jam di ponsel, jam sepuluh waktu Jakarta.. Bego. Jam segini itu adalah jam super sibuk beliau, meeting harian, bagiin kerjaan, laporan ke atasan. 

Hallo tampan, kerja yang rajin ya... Peluk dan cium dari Manado.. :*


3 comments:

  1. Ayooooo Lanjutin Yuyuuu :D
    tebakanku : Cello cowok yg mau dijodohin sm Gianina :p

    ReplyDelete
  2. Yuyu.. yg di atas itu komenku, lupa akunnya temen belom di sign out :p hapus aja...

    ReplyDelete
  3. Rastine.. soriii... lama tak membuka comment2 di blog walaupun tetep posting.. hehehe.. *saya emang blogger yang payah* *nunduk*

    emm.. di lanjutinnya entar ya.. hehhe

    ReplyDelete