Mengutip dari KBB Daring
adap.ta.si (n): penyesuaian terhadap lingkungan, pekerjaan, dan pelajaran
Aku mau sedikit ceritain a.k.a curhat tentang adaptasi yang selama setahun belakangan ini. Rasanya aku mengalai lelah badan dan pikiran karena adaptasi ini hahahha... Rasanya ingin ke suatu tempat di mana aku bisa sendirian dan tanpa perlu menyesuaikan diriku dengan apapun!
Aku akan menceritakan tentang beberapa hal yang sangat amat berat adaptasinya buatku.
Adaptasi BUDAYA!
Aku yang berasal dari Sumatera Utara, terlahir dari wanita berdarah Batak Toba dan pria berdarah Batak Karo.
Okai aku tidak akan melanjutkan soal polemik suku di Sumut, yang aku mau ceritakan adalah suamiku yang lahir dengan marga Nasution dan ibu boru Saragih. Dengan kata lain dia memiliki marga Mandailing dan ibu bermarga Simalungun.
Fyi, Batak itu sukunya ada 5: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Pak-Pak!
Cok klen tengok lah itu dulu.. 2 suku mengalir di darahku dan 2 suku lain lagi mengalir di suamiku!
Kelihatan menyenangkan dan woww sebenarnya... Tapi jujur aja awal-awal pernikahan kami rasanya amat sangat tidak menyenangkan bila sudah menyangkut keluarga!
Walaupun sama-sama dari Sumut dan bisa dibilang aku dan suamiku adalah saudara jauh karena kami adalah pariban, faktanya ketika kami ada di tengah-tengah keluarga besar banyak hal yang mebuat kami "besinggungan".
Suamiku besar dan hidup di lingkungan Simalungun, jadi bisa dibilang semua hal terkait suku Mandailing dia kurang mengerti. Sebaliknya semua hal tentang Simalungun sangat dijunjungnya.
Berbeda dengan aku yang memang terbiasa hidup dengan perbedaan suku Batak Toba dan Karo, justru kalau dipersentasikan 75% hidupku banyakan bergaul dengan orang Batak Toba. Aku belajar bahasa Karo hanya dari keluarga besar ayahku. Sementara bahasa batak? Dari keluarga ibu, teman sekolah, teman sekolah minggu, kuliah, bahkan kerja!
You can said I am 100% Batakness when you see my 8 shape face (muka segilapan)
Sebelum menikah, aku merasa orang Karo adalah suku yang lembut secara tutur kata dibandingkan orang Batak Toba. Akan tetapi setelah menikah aku baru tahu ternyata Simalungun lebih parah!
Simalungun itu hampir mirip suku Jawa. Secara tutur kata mungkin tidak, tapi dalam hal memperoleh apa yang diinginkannya, mereka akan muter-muter dulu menyampaikan maksudnya dan sangat menghargai yang namanya "Tulang"
Maksud menghargai ini sampai dalam tahap, kita tidak boleh makan duluan, bila tulang sedang ada dirumah dan dia belum makan. Padahal perut kita sudah-amat-sangat-lapar-hingga-asam-lambungmu-sudah-naik!
Yes, hal-hal seperti itu bikin aku "besenggolan" dengan suamiku. Tapi lama-lama dengan komunikai baik secara halus ataupun kasar, pelan-pelan kami sudah mulai saling mengerti. Dalam hal ini suamiku banyak mengalahnya dibandingkan aku.. >.<
Setelah masalah suku berbeda, adaptasi yang aku hadapi tidak hanya sampe situ. Masih soal budaya tapi kali ini lebih ke external.
Aku sepakat dengan suami untuk beribadah di gereja suku Simalungun, GKPS. Oya, aku belum cerita ya kalau aku itu sekarang menguasai 3 bahasa suku dari Medan?
Bahasa Karo dan batak, aku sangat baik dengan listening-nya hanya saja untuk speaking-ku masih 80%.
Hanya saja setiap kali aku menginjakkan kaki ke tanah Karo atau di kelilingi oleh banyak orang karo yang saling berbicara makan speaking-ku akan jadi 100%. Itu juga berlaku untuk bahasa Batak Toba.
Bahasa ketigaku adalah Bahasa Simalungun. Sebenarnya sejak kecil aku sudah "kenal" dengan bahasa ini, tapi otakku masih belum bisa mencernanya. Sejak aku kuliah dan mendengar teman kosanku berbahasa Simalungun, barulah otakku bisa menghasilkan rumus:
Bahasa Batak Toba + Bahasa Karo = Bahasa Simalungun
Beribadah di gereja Simalungun dengan tata ibadah dan Bahasa Simalungun bukanlah hal sulit buaku. Intinya isi firmannya masih sampe ke otak dan hatiku 😌
Nah, si adaptasi ini kembali muncul ketika aku dipilih menjadi panitia Natal di tahun 2017 ini. Gak tanggung-tanggung aku dapat posisi koordinator konsumsi! Rasanya mau nangis T.T
Aku yang baru beberapa bulan jadi jemaat gereja ini dan bahkan aku yang gak bisa mengucapkan bahasa Simalungu!
Disinilah aku, masih strugling dengan adaptasi ini. Kalau dulu suamiku yang beradaptasi dengan orang Batak dan aku beradaptasi dengan sisi "Simalungun" suamiku. Kini aku yang harus beradaptasi dengan para simalungun lainnya.
Aku beradaptasi dengan mulai lebih memperhatikan suku kata simalungun yang masih belum aku paham, istilah-istilah panggilan dalam bahasa Simalungun. Misal eda dalam bahasa Batak disebutkan Gawe dalam bahasa Simalungun. Belum lagi beradaptasi dengan sifat-sifat Simalungun yang suka bikin aku gemessss sendiri hahahaha
Pelan-pelan, semoga aku semakin terbiasa (doakan aku yaaa... ).
Harapanku, aku pun nantinya bisa berbahasa Simalungun sefasih suamiku... Oya, aku sebenarnya ingin belajar 2 bahasa dari suamiku Simalungun dan Jepang!
Tapi ya itu... untuk bahasa Jepang dia agak pelit dengan ku --"
Sooo... what you got from my story?
Semoga setelah ini kalian tidak takut mengambil orang Batak (suku apapun) untuk jadi pasangan hidup kalian, karena semuanya bisa di sesuaikan kok.
Kalian hanya perlu menyiapkan mental BAJA!
Anyway this is my first posting after join 1 week 1 story (1 minggu 1 cerita)
Semoga dengan ikutan 1 minggu 1 cerita aku jadi makin rajin nulis dan tulisannya main baik ya..
Love ya,
-Yuyu-
Waah. Selamat bergabung dengan 1m1c! :D
ReplyDeleteSemangat menulisnya. Btw, boleh lah nih saya nanti tanya-tanya sedikit untuk riset. Kebetulan saya ada bikin tokoh novel yang bersuku Batak. :D
boleh banget mba.. :D
Delete