Ita,sahabatku, menghadiahkan buku
Chicken Soup for the Sister’s Soul sebagai hadiah ulang tahunku yang ketujuh
belas. Agak menggelikan rasanya menerima buku ini. Mengingat aku hanya memiliki
satu saudara perempuan dan anak itu masih berusia empat atau lima tahun. Aku
tidak pernah tahu dan tidak berniat mencari tahu kapan anak itu lahir.
Ingin rasanya aku melempar buku
itu ke tong sampah karena bagiku, buku itu tidak ada gunanya. Dia itu bukan
saudaraku. Tapi bukan Ita namanya kalau tidak bisa memaksaku. “I am your sister
too, dear.” Begitulah ultimatum Ita saat aku masih membiarkan buku itu menumpuk
di rak bukuku tanpa kusentuh. Ya, bagiku Ita itu bukan hanya sahabat, tapi dia
adalah saudara perempuanku.
Memiliki saudara perempuan itu bagai mempunyai sahabat yang tak mungkin kita singkirkan. Kita tahu, apa pun yang kita lakukan mereka akan selalu mendampingi. – AMY LI
Aku memang setuju dengan kutipan
di buku itu, hanya kalau saudara perempuanku itu adalah Ita. Tapi sayangnya tidak.
Aku dan adikku itu memiliki satu kromosom X yang sama, sayangnya hanya satu;
mungkin kalau kedua kromosom kami sama, aku pasti akan menyukainya.
***
Aku melepas masa ‘anak
tunggal’-ku ketika berusia tiga belas tahun dan dengan kejam gelar itu berganti
menjadi ‘anak yang terbuang’. Semua itu
terjadi ketika suatu malam, empat tahun yang lalu, Papa pulang ke rumah
ditemani seorang wanita dan bayi. Dan dengan gampangnya Papa memintaku
memanggil wanita itu dengan sebutan Mama Anna dan bayi itu adalah adikku.
Seperti sihir; semenjak malam itu
aku pun kehilangan papaku. Tidak ada lagi papa yang kuanggap sebagai tempat
sandaran hidup. Tidak ada lagi Papa yang memarahiku bila aku pulang lewat dari
jam delapan malam, tidak ada lagi Papa yang menanyakan PR ku di jam makan
malam. Bahkan biaya sekolah dan jajanku semuanya di atur oleh Mbak Nadia,
sekretaris Papa.
I am Miss Lonely. Itulah sebutanku untuk diriku sendiri. Tidak
mudah memang melalui hari-hari di rumah, tapi aku tidak mau menyerah.
Berkali-kali aku berfikir untuk kabur dari rumah, tapi aku juga tahu untuk
hidup di luar sana aku perlu uang. Untuk mendapatkan uang, aku perlu ijazah dan
ilmu.
Akupun semakin giat belajar. Saat
menjelang ujian kelulusan, aku memutuskan untuk masuk SMA yang memiliki asrama.
Aku ingin keluar dari rumah yang sudah tidak menginginkanku. Aku pun memutuskan
masuk ke sekolah terbaik, karena itu akan menjadi refensiku kelak untuk
melanjutkan kuliah. Bukan hanya belajar; aku juga semakin rajin olah raga,
karena untuk masuk asrama diperlukan ketahan fisik yang baik.
Papa tidak pernah berkomentar
saat melihatku masuk ruang makan dengan baju yang sudah basah dengan keringat
di Minggu pagi. Dia tetap santai menyantap makanannya dan sesekali bermain
dengan anak kesanyangannya itu, Cinta Anindya Lituhayu.
***
Beberapa hari sebelum pengumuman
kelulusan diumumkan, aku sudah memilki kartu hijau untuk masuk ke SMA tujuanku.
Aku sudah dinyatakan lulus dari semua test untuk masuk sekolah tersebut. Aku hanya perlu memastikan bahwa nama Karla
Louisa Lituhayu ada di daftar kelulusan.
Dan aku memang lulus. Saat semua
teman-teman sekolahku merayakan malam perpisahan aliasprompt night yang menurut hanya acara fashion show yang menghabiskan uang orang tua; aku malah menyusun
semua barang-barangku ke dalam koper besar. Aku belum memberi tahu Papa
mengenai keputusan yang sudah ku ambil ini dan aku memang tidak berencana untuk
memberitahunya.
All my bags are packed I'm ready
to go. I'm standing here outside your door. I hate to wake you up to say
goodbye.
Keesokan harinya, aku
memberanikan diri untuk pamit pada Papa. Dulu ketika aku berusia enam tahun,
aku tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk ke kamar Papa atau merasa takut pada
orang yang ada di dalam sana, karena Mama dan Papa akan selalu merentangkan
tangan mereka untuk menyambutku.
Sekarang dengan semua sisa
keberanianku, aku pun mengetuk pintu itu. Aku menunggu hingga bebrapa menit,
tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku mengetuk pintu itu semakin keras. Langsung
saja ketukanku disambut dengan suara tidak senang.
Papa yang membuka pintu itu dan
ketika dia melihatku, dia langsung memasang wajah tidak senang.
“Apa mau mu? Ini masi pagi, dasar
anak tidak tahu sopan satun!”
Itulah kali pertama Papa membentakku. Ingin
rasanya aku berteriak balik, tapi aku tahu tidak ada gunanya. Sambil menggigit
bibir bawahku, aku menyerahkan berkas-berkas kelulusan dan sekolah baruku.
“Aku tidak bisa menghubungi
sekretaris Papa, tolong sampaikan surat itu pada dia agar dia bisa mengatur
pengeluaran untukku.”
Bukan kalimat ini yang ingin aku
ucapkan untuknya. Awalnya aku mau bilang, Papa
aku sudah lulus dan akan melanjutkan SMA, doakan aku ya. Tapi kalimat itu
tidak akan pernah aku ucapkan. Aku terlalu sombong atau mungkin hatiku terlalu
sakit.
***
Periode baru kehidupanku pun
dimulai. Kehidupan asrama tidaklah semengerikan yang dikatakan kebanyakan
orang. Walaupun sistem senioritas sering menyulitkanku, tapi aku tidak pernah
memusingkannya. Hal yang paling menjengkelka itu adalah bila atas dasar
kesalahan satu orang temanmu, maka kami harus dihukum bersama dia.
Hal yang paling aku syukuri di
sekolah ini adalah Ita. Puspita Citra adalah anak bungsu dari tiga bersaudara,
kedua kakaknya adalah laki-laki. Setelah menghabiskan waktu satu bulan di kamar
yang sama aku merasa nyaman dengannya.
Kami saling berbagi suka,
terkadang dia juga menceritakan dukanya padaku. Hanya saja aku belum terbiasa
berbagi duka dengan orang lain. Namun perlahan akupun menceritakan kondisi
keluargaku padanya. Aku mengira dia akan mengasihaniku, tapi ternyata tidak.
Dia memelukku dan menangis bersamaku. Diantara semua air mata yang pernah aku
keluarkan, baru kali itu aku merasa lega, rasanya sebagian bebanku hilang.
Ita memintaku untuk memaafkan
Papa. Permintaan yang sedikit tidak masuk akal dan aku rasa, aku tidak bisa
melakukannya.
“Kamu tidak boleh membenci Papamu hanya karena
kamu merasa tidak diperhatikan. Apapun yang terjadi, dia tetap Papamu dan
kalian sudah memalui masa-masa bahagia
yang lebih lama dibandingkan masa kepahitan ini, La. Ingat sedari kecil dia
selalu mencintaimu, mungkin saat ini cinta itu sedang di uji. Bersabarlah dan
jangan pernah tinggalkan Papamu. Semuanya indah pada waktuNya, La.”
Mau tidak mau ada sebagian dari
hatiku yang mengakui kebenaran ucapa Ita. Walaupun disakiti, tapi dia tetap
ayahku dan dalam hati aku meyakinkan diriku sendiri kalau cinta Papa padaku
masih ada dan aku pasti bisa mendapatkannya kembali.
***
Liburan kenaikan kelas tentunya
membawa suasana keceriaan di asrama. Semua teman-temanku sangat bersemangat menyiapkan
kepulangan mereka. Ita juga terlihat bahagia,tidak henti-hentinya dia bercerita
tentang kenakalan kakak-kakaknya dan kerinduannya pada kedua orang tuanya. Aku
pun ikut tersenyum mendengar ceritanya, walaupun dalam hati aku ketakutan. Aku
tidak mau pulang. Aku belum siap.
“Kalaupun nanti Papa kamu tetap cuekin
kamu, tetap tersenyum dan bersikaplah sebagaimana seorang anak harus bersikap. Jangan
menyerah dan jangan menangis. Percayalah Papa kamu masih menyanyangimu.” Ita
dan kebijaksaannya seperti pelita bagiku, memberiku harapan yang sepertinya
sudah hilang.
***
Aku tidak tahu apakah aku harus
bersyukur atau menangis. Papa dan keluarga barunya tidak ada dirumah,menurut
pembantu mereka sedang liburan ke Bali.
Aku bersyukur karena aku lebih
beruntung dari anak itu. Saat aku berusia empat tahun kedua orang tuaku sudah
membawaku ke Eropa, sedangkan anak itu hanya ke Bali. Dalam hati aku tertawa
sekaligus menangis. Menangis karena merindukan Papa.
***
Mama dulu sering mengatakan,
‘Cinta itu bisa mengubah dunia dan cinta lebih kuat dari apapun’. Saat itu aku
baru berusia lima tahun dan aku tidak mengerti apa artinya. Tapi seiring dengan
bertambahnya usiaku, aku mulai mengerti.
Cinta yang dimaksudkan Mama
bukanlah cinta yang hari ini ada dan esok hilang, tapi cinta yang selalu ada di
hati dan tidak pernah hilang, walaupun orang yang kita cintai menyakiti kita.
‘Kasihilah kedua orang tuamu
supaya lanjut umurmu di bumi yang diberikan Tuhan padamu’. Setiap hari minggu
aku sering mengulangi kalimat itu dan perlahan aku membiarkan kalimat itu meresap
dalam hatiku agar aku kembali mencintai Papa.
***
Liburan kenaikan kelas datang
lagi, setelah dua tahun tanpa komunikasi dengan Papa, aku semakin
merindukannya. Kini aku sama bersemangatnya dengan Ita, kami rindu rumah.
Walaupun nanti mungkin saja aku tidak akan bertemu dengan Papa, tapi aku ingin
pulang. Setidaknya masih ada kenanganku bersama Papa di rumah itu.
Seperti tahun lalu, tahun ini aku
juga dijemput oleh supir. Begitu memasuki komplek perumahan kami, aku melihat
ada bendera kuning. Awalnya aku tidak
peduli, tapi saat melihat bendera yang sama di depan rumahku, aku ketakutan.
Bukan Papa. Aku mengulangi
kalimat itu di hatiku. Aku belum memaafkan Papa dan aku tidak akan memafkannya
kalau dia pergi begitu saja. Tidak akan.
Aku ingin bertanya pada supir,
tapi aku tidak punya tenaga untuk bertanya. Begitu mobil berhenti, aku langsung
keluar dan berlari ke dalam rumah. Aku tidak peduli dengan tatapan heran
ataupun kasihan dari semua tamu yang ada di situ.
Aku mengutuki ruang tamu yang
luas ini, berkali-kali aku tersandung karena banyaknya tamu yang datang. Aku
berlari menuju kerumunan orang-orang berpakaian hitam yang mengelilingi jenasah
di tengah ruangan itu. Belum lagi aku sampai ke jenasah, aku merasa ada sepasang
tangan yang menarikku.
“Karla, Mama Anna sudah
meninggal. Dia mengalami kecelakaan ketika jemput Cinta.”
Aku tidak memperhatikan kata-kata
Papa, aku bersyukur karena masih bisa melihat Papa berdiri diatas tanah. Aku
langsung memeluk Papa dan menangis. Sudah lama sekali aku tidak merasakan
hangatnya pelukan ini.
“Karla sayang Papa.” Aku memaafkanmu, Pa. Papa tidak
menjawabku tapi dia memelukku semakin erat dan mencium puncak kepalaku.
Selama acara pemakaman
berlangsung, aku hanya melihat gadis kecil yang sekarang berusia empat tahun itu.
Apakah dia tahu bahwa kini kehidupannya telah berubah. Apakah dia mengenal aku?
Apakah dia tahu apa yang sudah dilakukannya padaku?
Ada satu kisah yang paling aku
suka di buku Chicken Soup dari Tia, tentang seorang adik yang rela membotak
kepalanya demi menghibur dan menyemangati kakaknya yang terkena kangker. Dari
satu kisah berlanjut ke kisah lain, akhirnya aku sadar kalau anak kecil itu
sama dengan aku. Kami kehilangan ibu kami dan kini tumpuan hidup kami hanya
Papa.
Aku tidak ingin dia merasakan kesedihan
dan kepahitan yang sama denganku. Walaupun kini dia tidak tahu aku ini kakak
tirinya, tapi aku ingin menjadi seseorang yang berarti untuknya. Aku juga ingin
menjadi seseorang yang berarti untuk Papa.
Aku juga memaafkan Mama Anna,
walalupun kami tidak pernah berinteraksi, tapi aku membencinya karena telah
mengambil Papa.
Saat Mama Anna di masukkan ke
liang kubur, aku melihat Papa dan ternyata Papa juga sedang melihat kearahku.
Dia terseyum padaku dan aku pun tersenyum balik. Semoga saja ini adalah awal
yang baik untuk keluargaku. Keluarga baruku, karena sekarang ada Cinta diantara
aku dan Papa.
NB: Cerpen ini menjadi cerpen terbaik untuk #ALoveGiveaway yang diselenggarakan oleh Retha
No comments:
Post a Comment